Aceh Barat – Insiden menyedihkan dan menggemparkan terjadi di sebuah pesantren di Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, dimana seorang anak dibawah umur diduga menjadi korban penyiraman air cabai dan pemotongan rambut. Kejadian yang viral di media sosial ini menarik perhatian publik serta mengundang respons cepat dari pihak kepolisian untuk melakukan penegakan hukum.
Polres Aceh Barat secara resmi telah menahan NN (40), istri dari pemilik pesantren, atas dugaan melakukan kekerasan terhadap santrinya yang masih berumur 13 tahun. Penahanan ini berdasarkan penetapan tersangka setelah penyidik menemukan bukti yang memadai. “Saat ini, pelaku telah kita tetapkan sebagai tersangka dan telah kita lakukan penahanan guna menindaklanjuti proses hukum berikutnya,” kata AKBP Andi Kirana melalui Kasat Reskrim, Iptu Fachmi Suciandy ke Serambinews.com.
Menurut pengakuan tersangka, tindakan tersebut dipicu oleh rasa kesal karena korban sering merokok di lingkungan pesantren. Peristiwa ini terjadi pada 30 September 2024, saat NN sedang memblender cabai untuk dijual di kantin pesantren. Niat untuk menasehati berubah menjadi tindakan penyiraman air cabai yang spontan ketika NN menemukan korban sedang merokok.
Pelaku dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 76 c UU RI No 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Penyidikan masih berlanjut dengan polisi yang giat mengusut lebih dalam tentang kejadian tersebut, seperti yang dilaporkan oleh keluarga korban yang telah tercatat dalam laporan polisi.
Publik semakin penasaran setelah beredar video yang menunjukkan seorang santri, berinisial T, menahan kesakitan dan kemudian menceburkan diri ke dalam bak mandi. Tampak jelas perih yang dialami oleh korban. Keluarga korban melaporkan kejadian pada 1 Oktober 2024, sehari setelah kejadian itu terjadi. Penyidikan berlangsung cepat dengan penangkapan NN pada malam hari oleh pihak kepolisian.
Dari informasi yang dikumpulkan, kasus ini bermula dari pelanggaran aturan oleh santri T karena merokok yang diikuti dengan sanksi pemotongan rambut. Ibu kandung korban, Marnita, mengungkapkan bahwa T mengalami trauma mendalam dan menjalani perawatan intensif. Sementara itu, Irawan dari Dinas Pendidikan Dayah Aceh menekankan penolakannya terhadap segala bentuk kekerasan dalam pendidikan.
Video yang beredar luas di media sosial itu memperlihatkan nyeri yang ditanggung oleh korban, yang kemudian dibawa pulang oleh keluarganya untuk dirawat. “Kami masih meminta keterangan saksi terkait kasus ini dan Petugas kami dari unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) tengah mendalami kasus ini,” kata Iptu Fachmi Suciandy kepada KOMPAS.com.
Perhatian masyarakat dan teguran dari berbagai pihak mengenai perlindungan anak di pesantren, trauma anak akibat kekerasan, dan pentingnya penegakan hukum atas kekerasan di dayah terus menjadi sorotan. Kasus ini tidak hanya menimbulkan dampak psikologis pada korban tapi juga respons masyarakat terhadap penyiksaan anak dan proses hukum pelaku kekerasan di Aceh, yang diharapkan dapat menegakkan keadilan serta melakukan upaya pemulihan bagi korban kekerasan anak.